Rabu, 03 April 2019

Sejarah masa pemerintahan presiden RI


Sejarah masa pemerintahan presiden RI

1. Soekarno Hatta
Soekarno (1901-1970), yang lahir di Surabaya pada masa pemerintahan kolonial Belanda, adalah pemimpin nasionalis dan pahlawan nasional yang mendedikasikan hidupnya kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Meskipun bertumbuh dalam lingkungan tradisional Jawa (dan dikombinasikan dengan pengaruh Bali dari sisi keluarga ibunya), Soekarno mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah modern kolonial Belanda. Sejak usia muda minat utamanya adalah membaca buku-buku dengan topik filosofi, politik dan sosialisme. Waktu masih sekolah di Surabaya, Soekarno tinggal di rumahnya Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin pertama dari Sarekat Islam (yang kemudian menjadi gerakan penting untuk kebangkitan nasional Indonesia). Tjokroaminoto menjadi mentor politik dan inspirasi bagi Soekarno.
Pada tahun 1927 Soekarno mendirikan dan menjadi pemimpin sebuah organisasi politik yang disebut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia. Namun, aktivitas politik subversif ini menyebabkan penangkapan dan juga pemenjaraannya oleh rezim Pemerintah Kolonial Belanda yang represif di tahun 1929. Bagi orang-orang Indonesia pada saat itu, pembuangan Soekarno itu malah memperkuat saja citranya sebagai pahlawan nasional dan pejuang kemerdekaan. Setelah pembebasannya, Soekarno berada dalam konflik yang terus berkelanjutan dengan pemerintahan kolonial selama tahun 1930an, menyebabkan Soekarno berkali-kali dipenjara.
Waktu Jepang menginvasi Hindia Belanda pada bulan Maret 1942, Soekarno menganggap kolaborasi dengan Jepang sebagai satu-satunya cara untuk meraih kemerdekaan secara sukses. Sebuah taktik yang terbukti efektif.
Sampai saat ini, masyarakat Indonesia sangat menghormati dan mengagumi Soekarno, pencetus dari nasionalisme Indonesia, karena mendedikasikan hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia dan membawa identitas politik baru kepada negara Indonesia.

2. Soehaarto
Suharto (1921-2008), Presiden kedua Indonesia, meraih kekuasaan di tengah periode krisis darurat dan pertumpahan darah. Pendahulunya, Soekarno, telah menciptakan komposisi pemerintahan antagonistik yang sangat berbahaya dan terdiri dari fraksi-fraksi nasionalis, komunis, dan agama yang saling mencurigakan. Pihak lain yang bersemangat untuk memegang kekuatan politik adalah pihak tentara, yang berhasil menjadi lebih berpengaruh dalam politik Indonesia pada tahun 1950an waktu perlu menghancurkan sejumlah pemberontakan yang mengancam kesatuan Indonesia.
Keempat kelompok ini sangat saling mencurigai satu sama lainnya. Ketidakpercayaan ini kemudian memuncak pada tragedi di pertengahan 1960an ketika sekelompok perwira aliran kiri, karena pengaruh Partai Komunis Indonesia (menurut versi tentara), melakukan kudeta dengan menculik dan membunuh tujuh pimpinan utama militer yang mereka tuduh ingin menjatuhkan Presiden Soekarno. Suharto, seorang perwira tinggi yang mengambil alih kekuasaan militer selama masa kekacauan ini, menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang segala kekacauan ini. Selama beberapa bulan kemudian, ratusan ribu pengikut aliran komunis maupun orang yang diduga pengikut aliran komunis dibantai di Sumatra, Jawa and Bali. Walaupun banyak fakta tetap tidak diketahui kebenarannya, jelas bahwa Jenderal Suharto muncul sebagai pemilik kekuasaan yang besar di tengah kekacauan di tahun 1960an.
Pada 11 Maret 1966, Indonesia masih dalam keadaan terguncang dan terjebak dalam kekacauan. Tepat pada hari itu, Presiden Soekarno dipaksa menandatangani sebuah dekrit yang memberikan kekuasaan kepada Jenderal Suharto untuk melakukan tindakan-tindakan demi menjaga keamanan, kedamaian dan stabilitas negara. Dekrit ini dikenal sebagai dokumen Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dan menjadi alat pemindahan kekuasaan eksekutif dari Soekarno ke Suharto. Suharto dengan cepat melarang segala aktivitas PKI, mulai membersihkan militer dari elemen-elemen aliran kiri, dan mulai memperkuat peran politik militer di masyarakat Indonesia.
Meski masih tetap presiden, kekuatan Soekarno makin lama makin berkurang sehingga Suharto secara formal dinyatakan sebagai pejabat sementara presiden pada tahun 1967 dan dilantik menjadi Presiden Indonesia kedua pada tahun 1968. Ini menandai munculnya era baru yang disebut 'Orde Baru' dan berarti bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah diubah dengan drastis. Pemerintah Suharto ini berfokus pada pembangunan ekonomi. Hubungan dengan dunia Barat, yang telah dihancurkan Soekarno, dipulihkan sehingga memungkinkan mengalirnya dana bantuan asing yang sangat dibutuhkan masuk ke Indonesia. Manajemen fiskal yang penuh kehati-hatian mulai dilaksanakan oleh para teknokrat dan konfrontasi yang berbahaya dan mahal melawan Malaysia dihentikan.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Suharto adalah depolitisasi Indonesia. Para menteri tidak diizinkan membuat kebijakan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang diformulasikan oleh atasannya (Presiden). Golkar (akronim dari Golongan Karya, atau kelompok-kelompok fungsional) digunakan sebagai kendaraan parlementer yang kuat milik Suharto. Golkar ini mencakup beberapa ratus kelompok fungsional yang lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan pengusaha) yang memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dimobilisasi oleh partai-partai politik.
Golkar dikembangkan menjadi sebuah alat untuk memastikan bahwa mayoritas suara dalam pemilihan umum akan mendukung pemerintah. Golkar memiliki jaringan sampai ke desa-desa dan didanai untuk mempromosikan Pemerintah Pusat. Para pegawai negeri sipil diwajibkan mendukung Golkar sementara kepala-kepala desa menerima kuota suara untuk Golkar yang harus dipenuhi. Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan kemenangan besar untuk Golkar pada pemilihan umum 1971.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan politiknya, Suharto 'mendorong' sembilan partai politik yang ada untuk bergabung sehingga tinggal dua partai. Partai pertama adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari partai-partai Islam dan partai kedua adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen. Kendati begitu, aktivitas-aktivitas politik kedua partai ini sangat dibatasi sehingga hanya menjadi masa-masa kampanye singkat sebelum pemilihan umum.

3. Bj. Habibie
Setelah menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden RI, Suharto menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. Pada saat itu juga Wakil Presiden B.J. Habibie diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara.
   Pada masa pemerintahan B.J. Habibie, kehidupan politk di Indonesia Mengalami beberapa perubahan. Masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie ditandai dengan dimulainya kerja sama dengan Dana
Moneter Internasional (IMF) untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, B.J. Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan memberikan kebebasan dalam berekspresi. Beberapa langkah perubahan diambil oleh B.J. Habibie, seperti liberalispartai politik, pemberian kebebasan pers, kebebasan bependapat, dan pencabutan UU Subversi. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk dimintai pertimbangannya dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto, namun mengalami kegagalan. Pada tanggal itu pula, Gedung DPR/MPR semakin penuh sesak oleh para mahasiswa dengan tuntutan tetap yaitu reformasi dan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
          Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharto meletakkan jabatannya sebagai presiden dihadapan ketua dan beberapa anggota dari Mahkamah Agung. Pada tanggal itu pula, dan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan di depan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu, Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke-3.
          Naiknya Habibie menjadi presiden menggantikan Presiden Soeharto menjadi polemik dikalangan ahli hukum. Sebagian ahli menilai hal itu konstitusional, namun ada juga yang berpendapat inkonstitusional. Adanya perbedaan pendapat itu disebabkan karena hukum yang kita miliki kurang lengkap, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Diantara mereka menyatakan pengangkatan Habibie menjadi presiden konstitusional, berpegang pada Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Bila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Tetapi yang menyatakan bahwa naiknya Habibie sebagai presiden yang inkonstitusional berpegang pada ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa"Sebelum presiden memangku jabatan maka presiden harus mengucapkan sumpah atau janji di depan MPR atau DPR". Sementara, Habibie tidak melakukan hal itu dan ia mengucapkan sumpah dan janji di depan Mahkamah Agung dan personil MPR dan DPR yang bukan bersifat kelembagaan.
          Dalam ketentuan lain yang terdapat pada Tap MPR No. VII/MPR/1973, memungkinkan bahwa sumpah dam janji itu diucapkan didepan Mahkamah Agung. Namun, pada saat Habibie menerima jabatan sebagai presiden tidak ada alasan bahwa sumpah dan janji presiden dilakukan di depan MPR atau DPR, Artinya sumpah dan janji presiden dapat dilakukan di depan rapat DPR, meskipun saat itu Gedung MPR/DPR masih diduduki dan dikuasai oleh para mahasiswa. Bahkan Soeharto seharusnya mengembalikan dulu mandatanya kepada MPR, yang mengangkatnya menjadi presiden.
          Apabila dilihat dari segi hukum materiil, maka naiknya Habibie menjadi presiden adalah sah dan konstitusional. Namun secara hukum formal hal itu tidak konstitusional, sebab perbuatan hukum yang sangat penting yaitu pelimpahan wewenang atau kekuasaan dari Soeharto kepada Habibie harus melalui acara resmi yang konstitusional. Apabila perbuatan hukum itu dihasilkan dari acara yang tidak konstitusional, maka perbuatan hukum itu menjadi tidak sah. Pada saat itu memang DPR tidak memungkinkan untuk bersidang, karena Gedung DPR/MPR diduduki oleh puluhan ribu mahasiswa dan para cendekiawan. Dengan demikian, hal ini dapat dinyatakan sebagai suatu alasan yang kuat dan hal itu harus dinyatakan sendiri oleh DPR.[1]
          Habibie yang menjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Oleh karena itu, langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi dan politik. Dalam menghadapi krisis itu, pemerintah Habibie sangat berhati-hati terutama dalam pengelolaannya, sebab dampak yang ditimbulkannya dapat mengancam integrasi bangsa. Untuk menjalankan pemerintahan, presiden habibie tidak mungkin dapat melaksanaknnya sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri  dan kabinetnya. Oleh karena itu, Habibie membentuk kabinet.
          Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakanKabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, PDI. Pada tanggal 25 Mei 1998 diselenggarakan pertemuan pertama kabinet habibie. Pertemuan ini berhasil membentuk Komite untuk merancang undang-undang politik yang lebih longgar dalam waktu satu tahun dan menyetujui pembatasan masa jabatan presiden yaitu maksimal 2 periode (satu periode lamanya 5 tahun). Upaya terebut mendapat sambutan positif, tetapi dedakan agar pemerintah Habibie dapat merealisasikan agenda reformasi tetap muncul.

4. Abdurrahman Wahid
K.H. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden pada tanggal 20 Oktober 1999. Pemilihannya berjalan dengan demokratis dan transparan. Berkat dukungan partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah yaitu Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Bulan Bintang, Abdurrahman Wahid mengungguli calon presiden lain yakni Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden yang dilakukan melalui pemungutan suara dalam rapat paripurna ke-13 MPR. Megawati Soekarno Putri sendiri terpilih menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah Haz dalam pemilihan wakil presiden melalui pemungutan suara pula. Ia dilantik menjadi wakil presiden pada tanggal 21 Oktober 1999.
Pidato pertamanya setelah terpilih sebagai presiden memuat tugas-tugas yang akan dijalankannya, yaitu sebagai berikut :
Peningkatan pendapatan rakyat.
Menegakkan keadilan mendatangkan kemakmuran.
Mempertahankan keutuhan bangsa dan negara.
Presiden K.H. Abdurrahman Wahid didampingi Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Mereka bekerja sama membentuk kabinet yang disebut dengan Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet diumumkan pada tanggal 28 Oktober 1999.
Pada masa pemerintahan Gus Dur banyak diwarnai tindakan-tindakan kontroversi. Contohnya sebagai berikut :
Kabinet seringkali mengalami reshuffle (perubahan susunan).
Menghapus Departemen Sosial dan Departemen Penerangan.
Sering melakukan kunjungan ke luar negeri.
gagasannya yang kontroversial mengenai pencabutan Tap.MPRS mengenai pelarangan komunisme
gagasan pembukaan hubungan dagang dengan Israel
Presiden K.H. Abdurrahman Wahid melakukan pembagian kekuasaan dengan wakil presiden. Tugas yang menjadi kewenangan wakil presiden, antara lain sebagai berikut :
Menyusun program dan agenda kerja kabinet.
Menentukan fokus dan prioritas kebijakan pemerintah.
Memimpin sedang kabinet.
Menandatangani keputusan tentang pengangkatan dan pemberhentian pejabat setingkat eselon satu.

Berbagai Peristiwa Penting pada masa pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid:
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000. Amandemen tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Amandemen ini sekaligus mengubah pelaksanaan proses pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak suara dapat memilih langsung wakil-wakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut
Adanya dugaan bahwa presiden terlibat dalam pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 miliar rupiah dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS.
Pembentukan Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Pembentukan DEN dimaksudkan untuk memperbaiki ekonomi Indonesia yang belum pulih akibat krisis yang berkepanjangan. Ketua DEN adalah Prof. Emil Salim dengan wakilnya Subiyakto Cakrawerdaya, Sekretaris Dr. Sri Mulyani Indrawati. Anggota DEN adalah Anggito Abimanyu, Sri Ningsih, dan Bambang Subianto.
5. Megawati Soekarno Putri
A. Awal Pemerintahan Megawati Soekarnoputri      
            Keberhasilan sidang istimewa (SI) MPR 23 juli 2001 yang dipercepat mampu menjatuhkan Gus Dur dan memilih pemerintahan baru dan menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden dan Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Megawati resmi menjadi presiden kelima Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 2001 dibentuklah kabinet gotong royong. Anggota cabinet ini adalah kombinasi dari tokoh profesional dan politisi partai politik pendukung pemerintahan. Nama gotong royong juga dipilih Megawati untuk menguatkan visi misi utama pemerintahannya yaitu rekonsiliasi nasional. Indonesia saat Megawati terpilih menjadi presiden sedang porak poranda akibat beragam konflik komunal (ambon, poso, sampang) dan konflik politik (pemakzulan Gus Dur oleh koalisi yang sebelumnya mendukungnya). Gotong royong adalah kata yang dipilih untuk merekonsiliasi atau mempersatukan bangsa Indonesia dalam semangat membangun kembali.
            Melalui kabinet gotong royong , presiden Megawati  soekarnoputri telah telah menunjukkan maneuver politik yang pawai dan berhasil memberikan impresi yang positif pada berbagai lapisan masyarakat. Saat itu tumbuh dan berkembang pendapat paa berbagai masyarakat termasuk pelaku ekonomi, kalangan birokrasi, pengamat politik dan masyarakat kampus bahwa kabinet gotong royong yang dilantik pada hari jum'at 10 Agustus adalh cabinet yang cukup tangguh. Pandangan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa 26 dari 32 jabatan menteri dan setingkat menterri dijabat oleh para professional yang mengusai bidang tugas masing – masing.
            Akan tetapi seiring dengan berjalannya cabinet gotong royong dalam menjalankan pemerintahan, masyarakat sangat dikecewakan. Pasalnya, kinerja dari kabinet gotong royong tersebut dinilai lamban dalam mengatasi masalah yang terjadi dinegara kita saat itu. Wacana publik tentang efektifitas tim ekonomi kabinet gotong royong ( KGR) dalam menghantarkan Indonesia untuk secepatnya keluar dari krisisyang telah menggerogoti ekonomi dan kehidupan sosial politik selama lima tahun terakhir ini didominasi oleh pandangan bahwa anggota kabinet gotong royong bertindak sangat lamban dan tanpa koordinasi yang penuh. Persepsi ini secara sadar banyak digaungkan oleh kalangan akademisi dan politisi baik secara kolektif maupun secara perorangan yang pada gilirinnya diterima sebagai suatu realitas oleh masyarakat.
            Ekonomi dibawah pemerintahan Megawati tidak mengalami perbaikan yang nyata dibandingkan sebelumnya, meskipun kurs rupiah relatif berhasil dikendalikan oleh Bank Indonesia menjadi relatif lebih stabil. Kondisi ekonomi pada umumnya dalam keadaan tidak baik, terutama pertumbuhan ekonomi, perkembangan investasi, kondisi fiscal serta keadaan keuangan dan perbankkan. Dengan demikian, prestasi ekonomi pada tahun kedua pemerintahan sekarang ini tidak menghasilkan perbaikan ekonomi yang cukup memadai untuk sedikit saja memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan kesempatan kerja. Analisis yang cukup kerap dari banyak kalangan membuktikan bahwa selama ini tim ekonomi tidak mampu, menyelesaikan proses pemulihan ekonomi dan memperbaiki perekonomian secara lebih luas. Kondisi perekonomian masih terus dalam ketidak pastian, terutama karena terkait masalah keamanan, seperti dalam kejadian pemboman tahun2002. Masalah pertumbuhan ekonomi, investasi dan pengangguran adalah gambaran yang paling suram dibawah kabinet gotong royong ini.

6. Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan SBY-JK berlangsung pada tahun 2004-2009. Dalam pemerintahan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama wakilnya, Jusuf Kalla mencetuskan visi dan misi sebagai berikut:
Visi:
1) Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.
2) Terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak-hak asasi manusia. 3) Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Misi:
1) Mewujudkan Indonesia yang aman damai.
2) Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis.
3) Mewujudkan Indonesia yang sejahtera.
Pada periode kepemimpinannya yang pertama, SBY membentuk Kabinet Indonesia Bersatu yang merupakan kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Kabinet Indonesia Bersatu dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya, Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007.
Program pertama pemerintahan SBY-JK dikenal dengan program 100 hari. Program ini bertujuan memperbaiki sitem ekonomi yang sangat memberatkan rakyat Indonesia, memperbaiki kinerja pemerintahan dari unsur KKN, serta mewujudkan keadilan dan demokratisasi melalui kepolisian dan kejaksaan agung. Langkah tersebut disambut baik oleh masyarakat. Secara umum SBY-JK melakukan pemeriksaan kepada pejabat yang diduga korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi kebebasan oleh presiden melakukan audit dan pemberantasan korupsi. Hasilnya telah terjadi pemeriksaan tersangka korupsi dan pejabat pemerintahan sebanyak 31 orang selama 100 hari.
Kebijakan parsial dan spontan sering datang dan hasilnya mengecewakan masyarakat. Misalnya kedatangan Presiden AS George W. Bush pada tanggal 20November 2006 yang dipersiapkan secara besar-besaran dan menghasilkan dana besar telah mengundang banyak kecaman. Masyarakat yang anti AS menuduh Indonesia tidak memiliki agenda pemerintahan yang pasti. Belum lagi masalah Lumpur PT. Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Masalah lumpur ini telah menenggelamkan empat desa yang dihuni oleh ribuan warga. Selain itu banyak perusahaan yang terendam lumpur, artinya negara dan masyarakat dirugikandengan adanya masalah ini. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mengupayakan segala macam cara untuk menanganinya termasuk mendatangkan tim dari luar negeri dan pembentuk tim nasional penanggulangan bencana lumpur.

7. Joko Widodo
Ir. H. Joko Widodo atau Jokowi (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 21 Juni 1961; umur 57 tahun) adalah Presiden ke-7 Indonesiayang mulai menjabat sejak 20 Oktober 2014. Ia terpilih bersama Wakil PresidenMuhammad Jusuf Kalla dalam Pemilu Presiden 2014. Jokowi pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta sejak 15 Oktober 2012 sampai dengan 16 Oktober 2014 didampingi Basuki Tjahaja Purnama sebagai wakil gubernur. Sebelumnya, dia adalah Wali Kota Surakarta (Solo), sejak 28 Juli 2005 sampai dengan 1 Oktober 2012 didampingi F.X. Hadi Rudyatmo sebagai wakil wali kota. Dua tahun menjalani periode keduanya menjadi Wali Kota Solo, Jokowi ditunjuk oleh partainya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), untuk bertarung dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

KESIMPULAN DEBAT CAPRES


Kesimpulan Debat Capres Tentang Infrastruktur

Bapak Joko Widodo
Agar Terus Konektivitas Antar pulau,Antar Provinsi,Antar Kabupaten Dan Kota.Sehingga Masyarakat Indonesia Lebih Mudah Menggunakan Infrastruktur Yang Telah Dibangun

Bapak Prabowo
Ingin Memperhankan Infrastruktur Milik Masyarakat Yang ingin Dirampas/Diambil Dan Mencadangkan Ekonomi Untuk Masyarakat Saat Pengambilan Atau Perampasan Infrastruktur mereka